SEJARAH HADIST PRA MODIVIKASI
A. HADIS PADA ZAMAN NABI
Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi. Oleh karena itu pada bab ketiga akan dibicarakan tentang proses-proses dan kegiatan Nabi di dalam mengajarkan hadis-hadis beliau tersebut.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut. Adapun metode yang dimaksud adalah :
1. Metode Pengajaran Hadis secaara verbal/lisan.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
3. Demontrasi (Praktek aktual)
Berikut ini akan dibicarakan secara garis besar masing-masing dari ketiga jenis metode
pengajaran hadis tersebut di atas.
I. Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.
Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap sunah/hadis-hadisnya. Adapun langkah-langkah yang beliau tempuh untuk mengajarkan hadis-hadis tersebut adalah dengan mengulang-ulang ucapan beliau sebanyak tiga kali demi memudahkan menghafal dan memahami ucapan beliau tersebut.
Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan kembali segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat/belum. Sebagaimana dapat dilihat pada kitab shahih Bukhari bab wudlu hadis no 75. Pengajaran hadis pada masa yang paling dini tidak melulu hanya berasal dari diri Nabi saja. Pada saat-saat tertentu ketika sahabat menghadapi suatu persoalan yang tidak didapatkan ketentuannya dalam ayat-ayat
al qur’an atau ajaran Nabi yang selama ini pernah mereka dapatkan, para sahabat banyak yang mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bukti yang otentik terhadap pernyataan tersebut adalah adanya penggunaan kalimat “yas’alunaka” dan “yastaftinunaka” dalam berbagai ayat- ayat al qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa al qur’an menggunakan kalimat ini adalah karena adanya suatu pertanyaan dari sahabat dan Nabi merasa tidak berkompeten untuk menjawabnya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan sahabat tersebut. Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa proses pembelajaran pada masa nabi tidak hanya berasal dari diri beliau, akan tetapi mengikutsertakan secara timbal balik peran serta dari sahabat-sahabatnya. Sehingga bisa diidentifikasikan bahwa terhadap pertanyaan sahabat yang bisa dijawab oleh Nabi, maka konteks ucapan itu menjadi sebuah hadis/sunah. Sementara terhadap pertanyaan sahabat yang Nabi menangguhkan dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah, sambil menunggu keputusan wahyu, maka konteks jawaban itu menjadi satu bagian dari al qur’an.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
Sejarah mencatat bahwa sebagai seorang pemimpin tertinggi dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Madinah, Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan yang dalam istilah kekinian disebut sebagai praktek-praktek otorita-administratif. Berbagai dokumen resmi baik berupasurat menyurat atau hasil kerja sama termasuk di antaranya
piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.
Surat-surat Beliau kepada para panglima atau komandan perang, gubernur muslim atau penguasa daerah lainnya juga kepada penguasa atau raja non muslim yang diajak masuk islam merupakan suatu bentuk pengajaran hadis secara tertulis. Setiapsurat tertulis yang dibuat oleh Nabi lewat sebagian kuttab-nya, kadangkala secara panjang lebar menjelaskan dan merangkum tentang berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan zakat, pajak, bentuk-bentuk ibadah dan lain sebagainya disesuaikan dengan orang atau fihak yang disurati.
Semua surat-surat yang dikirimkan oleh beliau itu tentunya bukan beliau sendiri yang menulisnya. mengingat bahwa beliau adalah pribadi yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis. Berdasarkan apa yang diinformasikan oleh Mustafa al azami (1992:28) Nabi memiliki sekitar 45 penulis-penulis wahyu atau penulis untuk kepentingan aktifitas kenegaraan beliau.
Sebuah hadis yang amat terkenal barangkali bisa menjadi bukti bahwa Nabi memang memiliki beberapa kuttab yang melayani segala keperluan beliau, hadis tersebut berbunyi : اكتبوا لابي شاه ( الحديث )
bunyi teks hadis ini berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada haji wada’ diketika itu Nabi menyampaikan suatu ajaran-ajaranNya dan ada seorang ulama Yaman yang merasa berkepentingan dengan isi ajaran yang disampaikan oleh beliau tersebut. Pada akhir ceramahnya ulama tersebut meminta kepada Nabi agar bersedia menuliskan inti ceramah tersebut untuk dirinya. Kemudian nabi menyuruh para sahabatnya untuk menulis ajaran yang baru saja beliau sampaikan. Sekali lagi ini adalah bukti bahwa proses pengajaran hadis nabi itu kadangkala menggunakan media tulisan.
3. Metode Pengajaran Hadis dengan cara Demonstrasi (Praktek Aktual)
Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk, jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam. Oleh karena itu datanglah as sunnah untuk memerinci bentuk-bentuk dan ukuran atau jumlah dan perincian dari masing-masing kewajiban tersebut. Proses bagaimana Nabi menjelaskan hukum-hukum dalam bentuk yang detail itu, sesungguhnya merupakan satu bagian dari sunnah Nabi dalam bentuk demonstrasi atau praktek yang aktual dari beliau. Hadis-hadis yang berupa penjelasan ketentuan umum al qur’an atau hadis-hadis yang memang merupakan hukum yang ditetapkan nabi sebagai syari’ dalam bentuk perilaku atau perbuatan tertentu termasuk metode yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka mengajarkan as sunnah terhadap sahabatnya. Cara-cara berwudlu’ , kaifiyah sholat, cara manasik haji adalah salah satu dari metode pengajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi.
A. Penulisan hadis pada zaman Nabi
Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung secara umum dan massal.Para sahabat setelah mendengarkan ayat-ayat al qur’an yang disampaikan langsung oleh nabi Muhammad, mereka lantas menghafalnya. Di samping itu dikalangan para sahabat nabi ada yang membuat catatan ayat-ayat tersebut. Para pencatat itu ada yang disuruh oleh nabi dan ada yang karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala hafalan para sahabat itu diperiksa oleh Nabi Muhammad. Sementara hafalan nabi sendiri menurut beberapa riwayat yang mu’tabar diperiksa oleh jibril pada tiap bulan ramadlan, dan khusus pada tahun kewafatannya hafalan Nabi diperiksa dua kali. Kemudian setelah nabi muhammad wafat periwayatan al qur’an berlangsung secara mutawatir juga dari zaman kezaman. Periwayatan itu bukan hanya secara lisan saja, melainkan juga secara tertulis. Khusus periwayatan dalam bentuk tertulis, penghimpunan seluruhnya secera resmi dilaksanakan pada zaman khalifah Abu Bakar al Shidiq (w. 13 H) dan digandakan kemudian disebarluaskan dengan tujuan keseragaman bacaan pada zaman khalifah Ustman bin Affan (w. 35 H), karenanya sangat sulit orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengadakan pemalsuan al qur’an. Fakta sejarah ini merupakan salah satu bukti kebenaran jaminan Allah terhadap pemeliharan al qur’an pada sepanjang zaman. Adapun periwayatan hadis hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad (Abu Rayyah, Tt : 279-280).
Dalam pada itu suatu ketika nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis hadis Nabi. Nabi memerintahkan para sahabat agar menghapus seluruh catatan selain dari catatan ayat al qur’an. Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw pernah pula menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Nabi menyatakan apa yang keluar dari lisannya adalah benar karena itu nabi Muhammad saw tidak berkeberatan bila hadisnya ditulis. Jadi dilihat dari kebijaksanaan nabi sendiri dapatlah dinyatakan bahwa hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi. Sekiranya Nabi tidak pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, niscaya masih juga tidak mungkin seluruh hadis dapat ditulis pada zaman Nabi. Hal ini disebabkan karena (a) terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis (b) perhatian nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan qur’an. (c) walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi. dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain, apalagi dengan peralatan yang masih sangat sederhana. Jadi bagaimanapun periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis.
Selama ini seolah-olah berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa sebelum islam lahir bangsa Arab tidak mengenal dan mengerti kegiatan tulis menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan adanya kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan lama cerita dan karya sasteranya. Suatu hal yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa bagian utara jazirah arab sudah mengenal baca tulis. Makkah, sebagaikota perdagangan menjadi saksi akan adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis lebih banyak daripada kota madinah. Sekalipun ada anggapan yang menyatakan bahwa Makkah pada waktu itu hanya memiliki beberapa puluh orang saja yang mampu baca tulis, akan tetapi menurut hemat Dr. Subhi Shalih (1988:24) sekalipun pendapat itu dianggap benar, tentunya tidak berasarkan pada perhitungan secara mendetail atau berdasarkan suatu penelitian yang benar-benar ilmiah. Jadi khabar tersebut lebih bersifat perkiraan (spekulatif) yang tidak meyakinkan. Hanya saja kita memang tidak memiliki bukti-bukti dan dalil-dalil baik aqli maupun naqli yang bisa menguatkan dugaan kami akan banyaknya orang Arab pada masa itu yang dapat membaca dan menulis.
al Khatib al Baghdady (w.463 H) adalah seorang yang paling banyak melakukan kajian terhadap hadis-hadis tentang penulisan hadis pada masa nabi muhammad saw. Bukunya yang berjudul Taqyid al ‘Ilm adalah buku yang paling bagus yang membahas masalah tersebut dan sampai sekarang belum ada buku lain yang mengungguli buku al Bagdhady tersebut. Pada masa-masa terakhir ini memang telah terdapat buku-buku yang membahas penulisan hadis, namun tidak meruipakan kajian khusus untuk masalah penulisan hadis. Misalnya karya Muhammad ‘Ajjaj al Khatib yang berjudul as sunnah qabla tadwin dan karya Muhammad Mustafa al Azamiy yang berjudul Dirasat fi al Hadis an Nabawiy wa Tarikh Tadwinih.
Al Bagdadiy menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang melarang penulisan hadis masing-masing diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit. Dari ketiga jalur ini yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya adalah riwayat yang disampaikan oleh oleh abu Said al Khudriy. yaitu hadis yang berbunyi :
لا تكتب عني غير القران و من كتب عني غير القران فليمحه ( الحديث )
Pada saat yang sama terdapat pula delapan buah hadis yang mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Antara lain pada waktukota Makkah dibebaskan (Fath Makkah) Nabi muhammad saw berpidato dihadapan ummat islam. Ketika itu ada seorang yang berasal dari daerah Yaman yang bernama Abu Syah meminta kepada Nabi untuk dituliskan isi pidato itu kepadanya. Nabi muhammad saw kemudian menyuruh para sahabat “Tuliskan untuk abu Syah” (Ya’qub,1995:61)
Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis ini secara umum juga dinilai shahih. karenanya kini terdapat dua versi hadis, yang satu melarang penulisan hadis, dan yang kedua menyuruh penulisan hadis. Dua versi hadis ini tidak mungkin ditinggalkan semuanya atau salah satunya, karena kedua-duanya sama-sama kuat kualitasnya. Maka para ulama menempuh metode jama’ yaitu menggabungkan pengertian kedua versi hadis itu dengan alternatif-alternatif sebagai berikut :
pertama , larangan penulisan hadis itu telah dihapus (dinasakh) dengan hadis-hadis yang mengizinkan atau menyuruh penulisan hadis.
kedua, larangan penulisan hadis itu berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar kertas kerja bersama al qur’an, karena bila hal ini tejadi dikhawatirkan al qur’an akan tercampur dengan al hadis.
Prof. Dr. M. M. Azami seorang pakar ilmu hadis masa kini cenderung kepada alternatif yang kedua dengan alasan bahwa nabi Muhammad saw pernah mendiktekan hadisnya kepada para sahabat dan beliau juga mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis. Dengan demikian argumen kelompok inkar as sunnah yang berkeyakinan bahwa al hadis tidak pernah terdokumentasikan atau tertulis pada masa nabi, karena ada hadis yang melarang untuk itu- tidak dapat dibenarkan secara ilmiah. Justru sebaliknya nabi Muhammad saw pernah mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis.
Sesungguhnya dari sekian banyak pendapat dan dasar argumentasi yang dimunculkan oleh orang yang meragukan adanya penulisan hadis pada masa nabi, sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak memiliki keahlian dibidang ilmu hadis, atau Ia hanya memiliki sedikit saja pengetahuan tentang al hadis. Kemudian atas sebab satu dan lain hal Ia mengemukakan pendapatnya yang menyalahi kebenaran itu, sekalipun sesungghuhnya tanpa bekal yang memadai.
Apabila umat islam pada masa awal telah memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca dan apabila nabi Muhammad saw telah menganjurkan para sahabat untuk menulis hadis, maka pertanyannya yang muncul sekarang ini adalah apakah ada suatu dokumen sejarah yang mampu memberikan bukti yang cukup signifikan bahwa para sahabat telah menulis hadis pada masa itu, atau dengan kata lain apakah ada kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa awal islam ?
Pertanyaan semacam ini selalu muncul kepermukaan karena masih ada sementara orang yang beranggapan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah ibn Syihab az Zuhri pada masa pemerintahan khalifah umar bin abdul aziz. Fakta sejarah menyajikan sebuah bukti bahwa imam ibn Syihab az Zuhri meninggal pada tahun 123 H, maka ada sementara orang yang berkesimpulan bahwa penulisan hadis yang pertama kali pastilah baru dimulai jauh sesudah wafatnya nabi Muhammad saw. hal ini disebabkan karena jauhnya jarak waktu antara masa hidup nabi Muhammad saw dengan penulisan hadis beliau maka akan mungkin sekali terjadi pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis sehingga tingkat otentisitas dan validitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. dan karenanya hadis tidak dapat dijadikan sumber syari’at islam.
Sesungguhnya kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa tradisi tulis menulis sudah tersebar pada masa nabi Muhammad Saw., dalam scope yang lebih luas daripada masa pra-islam. Sebab al qur’an telah memerintahkan belajar dan Nabi muhammad sendiri juga menganjurkan akan hal itu. Karakter risalah membawa konskuensi maraknya para pelajar, pembaca dan penulis karena wahyu memerlukan juru tulis. Surat-surat perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut aspek kenegaraan juga memerlukan juru tulis. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah islam datang banyak terdapat juru tulis untuk memenuhi kebutuhan negara yang baru. Rasulullah saw memiliki penulis-penulis wahyu yang jumlahnya mencapai empat puluh orang. Beliau juga memiliki ahli tulis sedekah ahli tulis hutang piutang dan ahli tulis untuksurat menyurat dengan bahasa asing (al Khatib, 1988:129) Nama-nama penulis rasulullah saw yang disebutkan oleh sejarawan tidaklah menunjukkan jumlah yang terbatas. Sejarawan hanya menyebut mereka yang kontinyu menulis dihadapan Nabi. Ini nampak jelas dalam pernyataan as Mas’uidy: Nama-nama penulis rasulullah saw yang kami sebutkan hanyalah mereka yang menjadi penulis tetap, melakukan kegiatan tulis menulis setiap hari dan yang menekuni keahlian itu dalam waktu yang relatif lama. Memang ada riwayat-riwayat shahih berkenaan dengan orang yang diperintah oleh nabi muhammad saw menulis satu, dua atau tiga buah surat . Akan tetapi hal itu tidak bisa menjadikannnya mendapat sebutan penulis. Disamping itu penyebutan tersebut juga dikaitkan dengan jumlah tulisannya.(al Khatib, :129)
Jumlah penulis jadi bertambah banyak setelah hijrah nabi ke Madinah, tatkala pemerintahan islam telah stabil. Sembilan masjid yang ada di madinah disamping masjid rasulullah saw menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Mereka mempelajari al qur’an al karim ajaran-ajaran islam, membaca dan menulis. Kaum muslim yang mampu tulis, baca tanpa memungut upah mengajari kawan-kawannya. Yang paling terkenal di antara pengajar-pengajar masa awal itu adalah sa’d ibn ar rubi’ al khazrajiy , salah seorang di antara dua belas perwira kesohor. Busyair bin sa’d ibn tsa’labah, abban ibn sa’d ibn al ‘ash dan lain-lain.
Di samping masjid-masjid itu ada juga sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar tulis menulis dan membaca, disamping belajar al qur’an al karim. Sesungguhnya belajar tulis menulis tidak hanya berlaku di kalangan anak laki-laki saja. Akan tetapi kaum wanita juga mempelajarinya dirumah mereka. Abu Bakar ibn Sulaiman ibn abi Khaitsamah meriwayatkan dari asy Syifa’ binti Abdullah bahwa Ia berkata : Rasulullah saw mengunjungiku pada saat aku berada bersama Hafshah lalu bersabda kepadaku :
ألا تعلمين هذه رقية النملة كما علمتها الكتابة
artinya :”Mengapa kamu tidak mengajari wanita ini mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajarinya menulis ?”
Kegiatan belajar bertambah meluas dan tersebar diberbagai kawasan islam, seiring dengan tersebarnya sahabat. Kelompok-kelompok belajar semakin marak, dan terbentuk di masjid-masjid.Ada kelompok belajar yang memuat seribu penuntut ilmu lebih, para pendidik juga bertambah banyak. Sekolah bertebaran diberbagai kawasan islam dan dipenuhi oleh para siswa sampai ad Dhahak ibn Muzahim mendesak guru untuk mengendarai himar dalam membimbing siswa disekolahnya, yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang.(al Khatib, :130)
Pendapat bahwa al hadis tidak tertulis pada masa nabi oleh karena tiadanya sarana alat tulis, minimnya penulis dan rendahnya kualitas tulisan mereka adalah suatu hal yang sulit untuk bisa diterima. Hal ini mengingat bahwa juru tulis nabi untuk menulis ayat-ayat al qu’an melebihi dari 30 orang juru tulis, disamping mereka-mereka yang ditugaskan Nabi utnuk menulis urusan-urusan lain yang sifatnya kenegaraan. Begitu pula dengan alasan bahwa ada larangan dari Nabi untuk menulis hadis adalah hal yang tidak bisa diterima kala sehat. Berikut ini akan dibahas beberapa atsar yang melarang dan membolehkan penulisan hadis, sehingga m,enjadi jelas letak permasalahannya.
B. Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :
لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artibnya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”
2. Abu Sa’id al Khudriy mengatakan :
جهدنا بالنبي صلى الله عليه و سلم أن يأذن لنا فى الكتاب فأبى
artinya “Kami merengek dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
Riwayat lain menyebutkan :
استأذنت النبي صلى الله عليه و سلم في الكتابة فلم يأذن لنا
artinya : “Kami memohon ijin kepada nabi muhammad saw untuk menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) Tetapi beliau tidak berkenan memberikan ijin kepada kami”
3. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar dari tuan”Beliau bersabda:
كتاب غير كتاب الله ؟ أتدرون؟ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله تعالى
artinya :”Kitab selain Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"
C. Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.
1. Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda :
أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق
artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar”
2. Abu Hurairah r.a berkata;
مامن أصحاب النبى صلى الله عليه و سلم أحد أكثر حديثا عنه منى إلا ماكان من عبد الله ابن عمرو فإنه
كان يكتب ولا أكتب
artinya :” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”
3. Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia berkata : Kami bertanya kepada rsulullah saw “Wahai rasulullah kami mendengar banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab :
أكتبوا ولا حرج
artinya :”Tuliskanlah dan tidak mengapa “
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau bersabda;
اكتبوا لأبي شاه !
artinya : “Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah !”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan hal-hal berikut ini :
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis Abu Said al Khudriy bernilai mauquf alaih artinya ditangguhkan. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini diriwayatkan dari al Bukhari dan yang lain.Hanya saja kita tidak bisa menerima pendapat ini. Karena hadis ini juga ada pada Imam Muslim dan berkualitas shahih. Ia bisa memperkuat kesahihan hadis di atas, yang juga dari Abu Said al Khudriy, yaitu :
إستأذنت النبى صلى الله عليه و سلم ان أكتب الحديث فأبى أن يأذن لى
artinya :”Saya meminta ijin kepada nabi Muhammad saw untuk menuliskan hadis akan tetapi beliau enggan memberikan ijin kepadaku”
2. Bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi percampuran antara al qur’an dengan al hadis. Namun tatkala kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga hukum larangan itu terhapus artinya menjadi dibolehkan. Dengan kata lain larangan penulisan hadis itu lebih disebabkan pada penggunaan media yang sama dalam menulis antara lafaz hadis dan al qur’an. Oleh karena itu jika lafaz al hadis ditulis dalam media yang berbeda dengan lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa.
3. Bahwa larangan belaku bagi orang yang bisa diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan memiliki ketergantungan terhadap trulisan. Sedang kebolehan penulisan hadis beralaku bagi orang yang tidak bisa diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah.
4. Bahwa larangan itu bersifat umum. Sedang kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak dikhawatirkan melakukan kekeliruan, seperti abdullah ibn amr. karena kekhawatiran seperti itu tidak ada padanya, maka ia diperbolehkan melakukan penulisan hadis.
Mencermati beberapa pendapat yang dimunculkan oelh berbagai kalanagan ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama yang mengatakan hadis said al khudriy mauquf alaih sehingga tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang salah. Karena ulama sepakat bahwa riwayat said al khudriy sekalipun melalui sanad yang berbeda dan masing-masing berbeda kualitasnya ada salah satu diantaranya yang bernilai sahih. Sehingga hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis itu bisa dijadikan hujah. Adapun pendapat yang kedua sampai keempat ada kemungkinan benar. Artinya bisa saja nabi muhammad saw melarang menulis hadis bersama dengan al qur’qn dalam satu lembaran karena khawatir terjadi campur aduk. Mungkin juga larangan beliau itu terjadi pada masa awal islam sehingga kaum muslimin tidak tersibukkan oleh hadis dan melupakan al qu’an. Beliau ingin agar kaum muslimin memelihara al qur’an didalama dada mereka dan di atas sabak, lembaran-lembaran, maupun tulang belulang untuk mengukuhkan penjagaaan terahapnya. Sementara hadis dibiarkan karena telah terjaga melalui praktek sehari-hari. Sebab mereka selalu menerapkannya. Mereka melihat Nabi sebagai sosok yang ideal yang patut dicontoh.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapat para pengamat baik dari kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Oleh karena itu tidak pada tempatnya untuk membahas secara panjang lebar keberatan-keberatan orang barat dan orang-orang yang meragukan kekuatan al hadis sebagai dasar hukum.
Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syar’iy.
Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi. Oleh karena itu pada bab ketiga akan dibicarakan tentang proses-proses dan kegiatan Nabi di dalam mengajarkan hadis-hadis beliau tersebut.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut. Adapun metode yang dimaksud adalah :
1. Metode Pengajaran Hadis secaara verbal/lisan.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
3. Demontrasi (Praktek aktual)
Berikut ini akan dibicarakan secara garis besar masing-masing dari ketiga jenis metode
pengajaran hadis tersebut di atas.
I. Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.
Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap sunah/hadis-hadisnya. Adapun langkah-langkah yang beliau tempuh untuk mengajarkan hadis-hadis tersebut adalah dengan mengulang-ulang ucapan beliau sebanyak tiga kali demi memudahkan menghafal dan memahami ucapan beliau tersebut.
Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan kembali segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat/belum. Sebagaimana dapat dilihat pada kitab shahih Bukhari bab wudlu hadis no 75. Pengajaran hadis pada masa yang paling dini tidak melulu hanya berasal dari diri Nabi saja. Pada saat-saat tertentu ketika sahabat menghadapi suatu persoalan yang tidak didapatkan ketentuannya dalam ayat-ayat
al qur’an atau ajaran Nabi yang selama ini pernah mereka dapatkan, para sahabat banyak yang mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bukti yang otentik terhadap pernyataan tersebut adalah adanya penggunaan kalimat “yas’alunaka” dan “yastaftinunaka” dalam berbagai ayat- ayat al qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa al qur’an menggunakan kalimat ini adalah karena adanya suatu pertanyaan dari sahabat dan Nabi merasa tidak berkompeten untuk menjawabnya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan sahabat tersebut. Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa proses pembelajaran pada masa nabi tidak hanya berasal dari diri beliau, akan tetapi mengikutsertakan secara timbal balik peran serta dari sahabat-sahabatnya. Sehingga bisa diidentifikasikan bahwa terhadap pertanyaan sahabat yang bisa dijawab oleh Nabi, maka konteks ucapan itu menjadi sebuah hadis/sunah. Sementara terhadap pertanyaan sahabat yang Nabi menangguhkan dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah, sambil menunggu keputusan wahyu, maka konteks jawaban itu menjadi satu bagian dari al qur’an.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
Sejarah mencatat bahwa sebagai seorang pemimpin tertinggi dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Madinah, Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan yang dalam istilah kekinian disebut sebagai praktek-praktek otorita-administratif. Berbagai dokumen resmi baik berupa
piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.
Surat-surat Beliau kepada para panglima atau komandan perang, gubernur muslim atau penguasa daerah lainnya juga kepada penguasa atau raja non muslim yang diajak masuk islam merupakan suatu bentuk pengajaran hadis secara tertulis. Setiap
Semua surat-surat yang dikirimkan oleh beliau itu tentunya bukan beliau sendiri yang menulisnya. mengingat bahwa beliau adalah pribadi yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis. Berdasarkan apa yang diinformasikan oleh Mustafa al azami (1992:28) Nabi memiliki sekitar 45 penulis-penulis wahyu atau penulis untuk kepentingan aktifitas kenegaraan beliau.
Sebuah hadis yang amat terkenal barangkali bisa menjadi bukti bahwa Nabi memang memiliki beberapa kuttab yang melayani segala keperluan beliau, hadis tersebut berbunyi : اكتبوا لابي شاه ( الحديث )
bunyi teks hadis ini berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada haji wada’ diketika itu Nabi menyampaikan suatu ajaran-ajaranNya dan ada seorang ulama Yaman yang merasa berkepentingan dengan isi ajaran yang disampaikan oleh beliau tersebut. Pada akhir ceramahnya ulama tersebut meminta kepada Nabi agar bersedia menuliskan inti ceramah tersebut untuk dirinya. Kemudian nabi menyuruh para sahabatnya untuk menulis ajaran yang baru saja beliau sampaikan. Sekali lagi ini adalah bukti bahwa proses pengajaran hadis nabi itu kadangkala menggunakan media tulisan.
3. Metode Pengajaran Hadis dengan cara Demonstrasi (Praktek Aktual)
Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk, jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam. Oleh karena itu datanglah as sunnah untuk memerinci bentuk-bentuk dan ukuran atau jumlah dan perincian dari masing-masing kewajiban tersebut. Proses bagaimana Nabi menjelaskan hukum-hukum dalam bentuk yang detail itu, sesungguhnya merupakan satu bagian dari sunnah Nabi dalam bentuk demonstrasi atau praktek yang aktual dari beliau. Hadis-hadis yang berupa penjelasan ketentuan umum al qur’an atau hadis-hadis yang memang merupakan hukum yang ditetapkan nabi sebagai syari’ dalam bentuk perilaku atau perbuatan tertentu termasuk metode yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka mengajarkan as sunnah terhadap sahabatnya. Cara-cara berwudlu’ , kaifiyah sholat, cara manasik haji adalah salah satu dari metode pengajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi.
A. Penulisan hadis pada zaman Nabi
Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung secara umum dan massal.
Dalam pada itu suatu ketika nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis hadis Nabi. Nabi memerintahkan para sahabat agar menghapus seluruh catatan selain dari catatan ayat al qur’an. Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw pernah pula menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Nabi menyatakan apa yang keluar dari lisannya adalah benar karena itu nabi Muhammad saw tidak berkeberatan bila hadisnya ditulis. Jadi dilihat dari kebijaksanaan nabi sendiri dapatlah dinyatakan bahwa hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi. Sekiranya Nabi tidak pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, niscaya masih juga tidak mungkin seluruh hadis dapat ditulis pada zaman Nabi. Hal ini disebabkan karena (a) terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis (b) perhatian nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan qur’an. (c) walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi. dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain, apalagi dengan peralatan yang masih sangat sederhana. Jadi bagaimanapun periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis.
Selama ini seolah-olah berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa sebelum islam lahir bangsa Arab tidak mengenal dan mengerti kegiatan tulis menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan adanya kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan lama cerita dan karya sasteranya. Suatu hal yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa bagian utara jazirah arab sudah mengenal baca tulis. Makkah, sebagai
al Khatib al Baghdady (w.463 H) adalah seorang yang paling banyak melakukan kajian terhadap hadis-hadis tentang penulisan hadis pada masa nabi muhammad saw. Bukunya yang berjudul Taqyid al ‘Ilm adalah buku yang paling bagus yang membahas masalah tersebut dan sampai sekarang belum ada buku lain yang mengungguli buku al Bagdhady tersebut. Pada masa-masa terakhir ini memang telah terdapat buku-buku yang membahas penulisan hadis, namun tidak meruipakan kajian khusus untuk masalah penulisan hadis. Misalnya karya Muhammad ‘Ajjaj al Khatib yang berjudul as sunnah qabla tadwin dan karya Muhammad Mustafa al Azamiy yang berjudul Dirasat fi al Hadis an Nabawiy wa Tarikh Tadwinih.
Al Bagdadiy menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang melarang penulisan hadis masing-masing diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit. Dari ketiga jalur ini yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya adalah riwayat yang disampaikan oleh oleh abu Said al Khudriy. yaitu hadis yang berbunyi :
لا تكتب عني غير القران و من كتب عني غير القران فليمحه ( الحديث )
Pada saat yang sama terdapat pula delapan buah hadis yang mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Antara lain pada waktu
Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis ini secara umum juga dinilai shahih. karenanya kini terdapat dua versi hadis, yang satu melarang penulisan hadis, dan yang kedua menyuruh penulisan hadis. Dua versi hadis ini tidak mungkin ditinggalkan semuanya atau salah satunya, karena kedua-duanya sama-sama kuat kualitasnya. Maka para ulama menempuh metode jama’ yaitu menggabungkan pengertian kedua versi hadis itu dengan alternatif-alternatif sebagai berikut :
pertama , larangan penulisan hadis itu telah dihapus (dinasakh) dengan hadis-hadis yang mengizinkan atau menyuruh penulisan hadis.
kedua, larangan penulisan hadis itu berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar kertas kerja bersama al qur’an, karena bila hal ini tejadi dikhawatirkan al qur’an akan tercampur dengan al hadis.
Prof. Dr. M. M. Azami seorang pakar ilmu hadis masa kini cenderung kepada alternatif yang kedua dengan alasan bahwa nabi Muhammad saw pernah mendiktekan hadisnya kepada para sahabat dan beliau juga mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis. Dengan demikian argumen kelompok inkar as sunnah yang berkeyakinan bahwa al hadis tidak pernah terdokumentasikan atau tertulis pada masa nabi, karena ada hadis yang melarang untuk itu- tidak dapat dibenarkan secara ilmiah. Justru sebaliknya nabi Muhammad saw pernah mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis.
Sesungguhnya dari sekian banyak pendapat dan dasar argumentasi yang dimunculkan oleh orang yang meragukan adanya penulisan hadis pada masa nabi, sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak memiliki keahlian dibidang ilmu hadis, atau Ia hanya memiliki sedikit saja pengetahuan tentang al hadis. Kemudian atas sebab satu dan lain hal Ia mengemukakan pendapatnya yang menyalahi kebenaran itu, sekalipun sesungghuhnya tanpa bekal yang memadai.
Apabila umat islam pada masa awal telah memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca dan apabila nabi Muhammad saw telah menganjurkan para sahabat untuk menulis hadis, maka pertanyannya yang muncul sekarang ini adalah apakah ada suatu dokumen sejarah yang mampu memberikan bukti yang cukup signifikan bahwa para sahabat telah menulis hadis pada masa itu, atau dengan kata lain apakah ada kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa awal islam ?
Pertanyaan semacam ini selalu muncul kepermukaan karena masih ada sementara orang yang beranggapan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah ibn Syihab az Zuhri pada masa pemerintahan khalifah umar bin abdul aziz. Fakta sejarah menyajikan sebuah bukti bahwa imam ibn Syihab az Zuhri meninggal pada tahun 123 H, maka ada sementara orang yang berkesimpulan bahwa penulisan hadis yang pertama kali pastilah baru dimulai jauh sesudah wafatnya nabi Muhammad saw. hal ini disebabkan karena jauhnya jarak waktu antara masa hidup nabi Muhammad saw dengan penulisan hadis beliau maka akan mungkin sekali terjadi pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis sehingga tingkat otentisitas dan validitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. dan karenanya hadis tidak dapat dijadikan sumber syari’at islam.
Sesungguhnya kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa tradisi tulis menulis sudah tersebar pada masa nabi Muhammad Saw., dalam scope yang lebih luas daripada masa pra-islam. Sebab al qur’an telah memerintahkan belajar dan Nabi muhammad sendiri juga menganjurkan akan hal itu. Karakter risalah membawa konskuensi maraknya para pelajar, pembaca dan penulis karena wahyu memerlukan juru tulis. Surat-surat perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut aspek kenegaraan juga memerlukan juru tulis. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah islam datang banyak terdapat juru tulis untuk memenuhi kebutuhan negara yang baru. Rasulullah saw memiliki penulis-penulis wahyu yang jumlahnya mencapai empat puluh orang. Beliau juga memiliki ahli tulis sedekah ahli tulis hutang piutang dan ahli tulis untuk
Jumlah penulis jadi bertambah banyak setelah hijrah nabi ke Madinah, tatkala pemerintahan islam telah stabil. Sembilan masjid yang ada di madinah disamping masjid rasulullah saw menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Mereka mempelajari al qur’an al karim ajaran-ajaran islam, membaca dan menulis. Kaum muslim yang mampu tulis, baca tanpa memungut upah mengajari kawan-kawannya. Yang paling terkenal di antara pengajar-pengajar masa awal itu adalah sa’d ibn ar rubi’ al khazrajiy , salah seorang di antara dua belas perwira kesohor. Busyair bin sa’d ibn tsa’labah, abban ibn sa’d ibn al ‘ash dan lain-lain.
Di samping masjid-masjid itu ada juga sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar tulis menulis dan membaca, disamping belajar al qur’an al karim. Sesungguhnya belajar tulis menulis tidak hanya berlaku di kalangan anak laki-laki saja. Akan tetapi kaum wanita juga mempelajarinya dirumah mereka. Abu Bakar ibn Sulaiman ibn abi Khaitsamah meriwayatkan dari asy Syifa’ binti Abdullah bahwa Ia berkata : Rasulullah saw mengunjungiku pada saat aku berada bersama Hafshah lalu bersabda kepadaku :
ألا تعلمين هذه رقية النملة كما علمتها الكتابة
artinya :”Mengapa kamu tidak mengajari wanita ini mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajarinya menulis ?”
Kegiatan belajar bertambah meluas dan tersebar diberbagai kawasan islam, seiring dengan tersebarnya sahabat. Kelompok-kelompok belajar semakin marak, dan terbentuk di masjid-masjid.
Pendapat bahwa al hadis tidak tertulis pada masa nabi oleh karena tiadanya sarana alat tulis, minimnya penulis dan rendahnya kualitas tulisan mereka adalah suatu hal yang sulit untuk bisa diterima. Hal ini mengingat bahwa juru tulis nabi untuk menulis ayat-ayat al qu’an melebihi dari 30 orang juru tulis, disamping mereka-mereka yang ditugaskan Nabi utnuk menulis urusan-urusan lain yang sifatnya kenegaraan. Begitu pula dengan alasan bahwa ada larangan dari Nabi untuk menulis hadis adalah hal yang tidak bisa diterima kala sehat. Berikut ini akan dibahas beberapa atsar yang melarang dan membolehkan penulisan hadis, sehingga m,enjadi jelas letak permasalahannya.
B. Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :
لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artibnya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”
2. Abu Sa’id al Khudriy mengatakan :
جهدنا بالنبي صلى الله عليه و سلم أن يأذن لنا فى الكتاب فأبى
artinya “Kami merengek dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
Riwayat lain menyebutkan :
استأذنت النبي صلى الله عليه و سلم في الكتابة فلم يأذن لنا
artinya : “Kami memohon ijin kepada nabi muhammad saw untuk menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) Tetapi beliau tidak berkenan memberikan ijin kepada kami”
3. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar dari tuan”Beliau bersabda:
كتاب غير كتاب الله ؟ أتدرون؟ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله تعالى
artinya :”Kitab selain Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"
C. Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.
1. Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda :
أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق
artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar”
2. Abu Hurairah r.a berkata;
مامن أصحاب النبى صلى الله عليه و سلم أحد أكثر حديثا عنه منى إلا ماكان من عبد الله ابن عمرو فإنه
كان يكتب ولا أكتب
artinya :” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”
3. Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia berkata : Kami bertanya kepada rsulullah saw “Wahai rasulullah kami mendengar banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab :
أكتبوا ولا حرج
artinya :”Tuliskanlah dan tidak mengapa “
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau bersabda;
اكتبوا لأبي شاه !
artinya : “Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah !”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan hal-hal berikut ini :
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis Abu Said al Khudriy bernilai mauquf alaih artinya ditangguhkan. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini diriwayatkan dari al Bukhari dan yang lain.Hanya saja kita tidak bisa menerima pendapat ini. Karena hadis ini juga ada pada Imam Muslim dan berkualitas shahih. Ia bisa memperkuat kesahihan hadis di atas, yang juga dari Abu Said al Khudriy, yaitu :
إستأذنت النبى صلى الله عليه و سلم ان أكتب الحديث فأبى أن يأذن لى
artinya :”Saya meminta ijin kepada nabi Muhammad saw untuk menuliskan hadis akan tetapi beliau enggan memberikan ijin kepadaku”
2. Bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi percampuran antara al qur’an dengan al hadis. Namun tatkala kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga hukum larangan itu terhapus artinya menjadi dibolehkan. Dengan kata lain larangan penulisan hadis itu lebih disebabkan pada penggunaan media yang sama dalam menulis antara lafaz hadis dan al qur’an. Oleh karena itu jika lafaz al hadis ditulis dalam media yang berbeda dengan lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa.
3. Bahwa larangan belaku bagi orang yang bisa diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan memiliki ketergantungan terhadap trulisan. Sedang kebolehan penulisan hadis beralaku bagi orang yang tidak bisa diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah.
4. Bahwa larangan itu bersifat umum. Sedang kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak dikhawatirkan melakukan kekeliruan, seperti abdullah ibn amr. karena kekhawatiran seperti itu tidak ada padanya, maka ia diperbolehkan melakukan penulisan hadis.
Mencermati beberapa pendapat yang dimunculkan oelh berbagai kalanagan ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama yang mengatakan hadis said al khudriy mauquf alaih sehingga tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang salah. Karena ulama sepakat bahwa riwayat said al khudriy sekalipun melalui sanad yang berbeda dan masing-masing berbeda kualitasnya ada salah satu diantaranya yang bernilai sahih. Sehingga hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis itu bisa dijadikan hujah. Adapun pendapat yang kedua sampai keempat ada kemungkinan benar. Artinya bisa saja nabi muhammad saw melarang menulis hadis bersama dengan al qur’qn dalam satu lembaran karena khawatir terjadi campur aduk. Mungkin juga larangan beliau itu terjadi pada masa awal islam sehingga kaum muslimin tidak tersibukkan oleh hadis dan melupakan al qu’an. Beliau ingin agar kaum muslimin memelihara al qur’an didalama dada mereka dan di atas sabak, lembaran-lembaran, maupun tulang belulang untuk mengukuhkan penjagaaan terahapnya. Sementara hadis dibiarkan karena telah terjaga melalui praktek sehari-hari. Sebab mereka selalu menerapkannya. Mereka melihat Nabi sebagai sosok yang ideal yang patut dicontoh.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapat para pengamat baik dari kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Oleh karena itu tidak pada tempatnya untuk membahas secara panjang lebar keberatan-keberatan orang barat dan orang-orang yang meragukan kekuatan al hadis sebagai dasar hukum.
Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syar’iy.
SEJARAH PRIODE RASUL
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mareka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokol-protokolan yang menghalangi mareka bergaul dengan beliau. Yang tidak di benarkan, hanyalah mareka langsung masuk kerumah Nabi, dikala beliau tak ada dirumah. Yakni tak boleh mareka terus masuk ke rumah dan berbicara dengan par istri Nabi,
Nabi mengauli mareka, di rumah,di mesjid,di pasar,di,jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbutan Nabi, demikiann juga seluruh ucapan dan tutur-kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mareka jadikan pedoman hidup.
Berdasrkan kepada kesungguhan meniru dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang jauh dari mesjid,mendatangi majlis-msjlis nabi.
“Umar Ibnu ‘i-Khaththab menurut riwayat AL Bukhary menerangkan yang artinya :
“ Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan anshar bertempat di kampung Umaiyah ibn Tazid, sebuah kampong jauh dari
Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat benar memperhatikan gerak-gerik nabi dan sangat benar memerlukan untuk mengetahui segala apa yang di sabdakan Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari
Sebagian sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi Nabi, hanya untuk menanyakan Sesutu hokum Sar’y.
Diriwayatkan oleh Malik dari Atha ibn Yassar bahwa seseorang lelaki dari sahabat mengirimkan isterinya untuk bertanya kepada Rasul tenteng hukum mencium isteri dikala berpuasa. Maka Ummu salamah memberitahukan kepada wanita yang bertanya itu,bahwa Nabi pernah menciumnya dikala belaiu berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada suaminya. Maka lelaki itu berkata: “aku bukan seperti Rasulullah. Allah menghalalkan bagi Rasulnya apa yang dikehendaki”. Perkataan itu sampai kepada Rasululah. Karena itu Nabi marah mendengarnya seraya berkata :
“Bahwasanya aku lebih taqwa kepada Allah dari pada kamu dan lebih mengetahui hukum-hukumnya”. (Hadits ini diriwayatkan juga oleh AL Syafi’y dalam Al risalah.)
Para sahabat menerima hadits (syari’at) dari Rasul s.a.w ada kala langsung dari beliau sendiri,yakni mareka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang di majukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mareka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima ari Nabi, atau mareka menyuruh seseorang bertanyakepada Nabi, jika mareka sendiri malu bertanya.
B. Para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul.
Semua sahabat, umumnya menerima hadits dari Nabi s.a.w dalam pada itu, para sahabat tidak sederajat dalam mengatahui keadaan Rasul s.a.w. Ada yang tinggal di kota,di dusun,berniaga,bertukang.Ada yang sering berada di kota ,ada pula yang sering bepergian,ada yang terus menerus beribadat, tinggal di mesjid , tidak memperoleh kerja. Tempo-tempo saja beliau melakukan yang demikian.
Ceramah terbuka diberikan beliau hanya pada tiap-tiap hari jum’at hari-hari raya dan waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki.
Diriwayatkan oleh Bukharyari Ibnu Mas’ud ujarnya :
“Nabi selalu mencari waktu-waktu yang baik buat memberikan pelajaran, supaya kami tidak bosdan kepadanya”.
C.
1. yang mula-mula masuk islam yang dinamai “as sabiquna ‘l-awwalun”, seperti : Khulafa empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
2. Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Hurairah.
3. Yang lama hidunya sesudah Nabi, dapat menerima hadits dari sesama sahabat,seperti Anas ibn malik dan Abdullah ibn abbas.
4. yang erat perhubunganya dengan Nabi, yaitu : Ummu-hatu’lMu’minin, seperti Aisyah dan ummu salamah.
Menurut catatan Adz Dzahaby, 31 orang shababy yang banyak meriwayatkan hadits. Diantaranya : Ummu Salamah dan Khulafa Rasyidin.
Pegangan sahabat dalam menghafal hadits.
D.Sebab-sebab hadits tidak ditulis Setiap-tiap Nabi meyebutkannya.
Rasul memerintahkan para sahabat untuk menghafal AL Qur-an dan menulisnya di keping-kepingan tulang, di pepepah korma, di batu-batu dan lain-lain. Diketika Rasulullah wafat, AL Qur-an telah dihafal dengan sempurna dan telah lengkap ditulis; hanya yang belum, dikumpulkan dalam mushaf saja.
Boleh jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak membukukan hadits disebabkan oleh fakto-faktor ini :
a. Mentadwinkan ucapan-ucapanya, amalan-amalanya,muamalah-muamalahnya, adalah satu keadaan yang sukar,karena memerlukan ada segolongan sahabat yang terus menerus harus meyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu,masih dapat di hitung.
Oleh karena
b. Karena orang arab disebabkan mareka tak pandai menilis, dan membaca tulisan,kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mareka ingin menghapalnya.
c. Karena dikwatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan AL Qur-an dengan tidak di sengaja.
Karena itu Nabi s.a.w melarang mareka menulis hadits,beliau khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman ilahi.
Muslim memberitakan dari Abu Sa’id AL Khudry,bahwa Nabi s.a.w bersabda :
“jangan anda tulis apa yang anda dengardari pada aku,selain dari pada AL Qur-an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain dari AL Qur-an hendaklah di hapuskan”.
Dan nabi bersanda lagi :
“Dan ceritakanlah dari padaku. Tak ada keberatan anda ceritakan apa yang anda dengar dari padaku. Barang siapa berdusta terhadap diriku (membuat suatu kedustaan,padahal aku tidak menyatakannya), hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalam neraka”.
Hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi.
E. Kedudukan usaha menulis hadits di masa Nabi s.a.w
Riwayat-riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat mempuyai lembaran-lembaran yang tertulis hadist.Mareka bukukan di dalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasul s.a.w seperti Shahifah Abdullah ibn Amer IBN ‘Ash,yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy dari Abu Hurairah,ujarnya :
“Tak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak(lebih mengetahui) hadits Rasul dari padaku, selain Abdullah ibn Amer bin ‘Ash. Dia menuliskan apayang dia dengar,sedangakan aku tidak menulisnya”.
Menurut sebuah riwayat , Anas bin Malik juga mempuyai sebuah buku catatan.
Sebagian sahabat menyatakan keberatanya terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullahitu. Mareka berkata kepada Abdullah.
“Anda selalu menulis apa yang anda dengar dari Nabi,padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah,lalu beliau menurutkan sesuatu yang tidak dijadikan syari’at umum”.
Mendengar itu Abdullah bertanya kepada Nabi, Apakah boleh dia menulis hadits-hadits yang di dengarnya dari Nabi. Nabi menjawab :
“Tulislah apa yang anda dengar daripadaku; demi Tuhan yang jiwakudi tanganya, Tidak keluar dari mulutku,selain kebenaran”.
Selain dari pada itu Nabi s.a.w sendiri pernah mengirim
F. Pendapat ulama dalam mentaufikkan hadits yang mencegah orang menulis hadits dengan haditsyang membolehkanya.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa : Larangan menulis hadits yang dinashkan oleh hadits Abu sa’id, dimansukhkan dengan izin yang datang sesudahnya.
Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa : larangann menulis hadits teertentu dengan mereka yang di khawatirkan akan mencampur adukan dengan hadits AL Qur-an. Izin hanya diberikan kepada mareka yang tidak di khawatirkan mencampur adukkan hadits dengan Al Qur-an itu.
Tegasnya, mareka nerpendapat bahwa : tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita fahamkan,bahwa yang dilarang pembukuan resmi sebagai mentadwidkan AL Qur-an, dan keizinan itu diberikan kepada mareka yang hanya menulis Sunnah untuk diri sendiri.Riwayat Abdullah ibn ‘Amer menguatkan pendapat ini.
Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi,oleh riwayat AL Bukhary yang meriwayatkan bahwa diketika Nabi dalm sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesanya untuk menjadi pegangan ummat. Akan tetapi karena dikala itu nabi dalam keadan berat sakitnya, Umar menghalang-halangi karena ditakuti menambahkan berat sakit Nabi.
Dan dapat pula dipahamkan, bahwa sesudah Al Qur-an di bukukan,di tulis dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya, barulah dikeluarkan keizinan menulisn sunnah.
Sejarah Hadis pada Masa Sahabat dan Tabi'in
Sat, 06/19/2010 - 09:49 — admin
Masa Sahabat
I. Pengantar
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan mu’min.
Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis.
Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadis disampaikan.
ألا ليبلغ الشاهد الغائب (أخرجه ابن ماجه)
“Ingatlah, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (HR. Ibn Majah).
II. Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwâyah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis.
Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu muncul pemalsuan hadis.
III. Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti :
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain : ‘Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwâyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan نحو هذا , كما قال atau kata yang sejenisnya.
2. Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
Mencari hadis dari perawi lain.
Meminta kesaksian selain periwayat.
IV. Cara Meriwayatkan Hadis
Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar.
Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.
Masa Tabi’in
I. Hadis pada Masa Tabi’in
Tabi’in adalah mereka yang bertemu dengan sahabat nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman.
Wilayah kekuasaan Islam sudah meluas. Syam, Irak, Mesir, Samarkand , bahkan Spanyol. Hingga beberapa sahabat hijrah ke wilayah tersebut demi mengemban tugas.
Pada masa ini hingga akhir abad pertama, banyak di antara tabi’in yang menentang penulisan hadis. Di antaranya: Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (72 H), Ibrahim bin Yazid al-Taimi (92 H), Jabir bin Zaid (93 H) dan Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (96 H). Larangan penulisan tersebut karena :
Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadis sehingga tercampur.
Larangan tersebut hanya pribadi, sementara murid-muridnya dibiarkan mencatat.
II. Metode Tabiin dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw.
1. Menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat.
2. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit.
3. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari perawi lain.
4. Melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.
III. Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Selain itu khalifah juga memerintah Ibn Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadis Nabi SAW.
Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
IV. Motif Umar bin Abdul Aziz
1. Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum dibukukan.
2. Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.
3. Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Qur’an dan hadis, keduanya sudah bisa dibedakan. Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam.
4. Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam medan perang.
V. Kodifikasi Hadis Pada abad kedua
Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan dan dla'if.
Kitab Hadis yang masyhur :
1. Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadis yang terkandung dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.
2. Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".
3. Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain.
VI. Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga
Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabi’in.
Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam kitab hadis, yaitu :
1. Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)
2. Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
3. Al-Darimi) - berisi hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.
4. Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadis untuk bahan perbandingan.
PEMBUKUAN HADIST
Bahkan seperampat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.
Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits – akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan
عنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ …
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya . Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar .
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain .
Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode .
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
a. Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
b. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.”
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk erkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
« اكْتُبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنُ فمى إِلاَّ حَقٌّ ».
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
2. Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits.
3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan hadits yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in. Dalam pembahasan ini akan dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1. Abu umamah al-Bahili
Nama aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH – 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al-Qasim al-Syami.
2. Abu Ayyub al-Ansari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad . Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112 hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam lembaran-lembaran(shahifah).
3. Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur
4. Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis
5. Abu Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat . Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi’ .
6. Abu Sa’id al-Khudri
Nama aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak menulis apapun selain al-Qur’an dan tasyahhud .
7. Abu Syah, orang dari Yaman
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan
8. Abu Musa al-Asy’ari
Nama aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang penulisan hadits Nabi. Tetapi beliau menulis
9. Abu Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri .
10. Abu Hind al-Dari, RA
Hadits-haditsnya ditulis oleh Ma,khul .
11. Ubai bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an .
12. Asma binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar, kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits Nabi .
13. Usaid bin Hudhari al-Ansari, RA
Beliau wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau menulis hadits-hadits Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya keada Marwan .
14. Anas bin Malik, RA. (10 SH – 93 H)
Beliau adalah seorang imam, pembantu Nabi dan ahli hadits, sangat pandai menulis. Dalam beberapa riwayat bahwa Anas bin Malik mempunyai banyak kitab. Abu Hubairah berkata, ”Apabila Anas bin Malik hendak mengajarkan haditsnya dan ternyata jumlah muridnya banyak sekali, beliau membawakan kitab-kitabnya, kemudian berkata ”ini adalah hadits-hadits yang saya dengar dari rasulullah SAW, saya menulisnya dari beliau dan kemudian saya perlihatkan kembali kepada beliau .
15. al-Bara’ bin Azib, RA. (w. 72 H)
Murid-murid beliau menulis hadits di hadaan beliau. Seperti keterangan Waki’, ia diberitahu Ayahnya, dari Abdullah bin Hansy, katanya: “Saya melihat para murid itu menulis dengan kayu dan alas tas-tas yang biasa ditaruh di punggung hewan di kediaman al-Bara” .
16. Jabir bin Samurah, RA. (w. 74 H)
Beliau menulis hadits kemudian mengirimkannya kepada ’Amir bin Saad. Kata Amir bin Sa’ad, ”Saya menulis
17. Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram, RA. (16 Sh – 78 H)
Beliau adalah sahabat yang wafat paling akhir di Madinah, disamping sebagai penulis buku pada masa-masa awal. Beliau mempunyai kitab tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim .
18. Jarir bin Abdullah al-Bajali, RA. (w. 54 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya akepada Mu’awiyah. Seperti yang dituturkan oleh Abu Ishaq bahwa Jarir bin Abdullah termasuk rombongan yang dikirim ke Amernia. Mereka ditimpa kekurangan pangan. Lalu Jarir menulis
19. Hasan bin Ali, RA. (3 – 50 H)
Beliau pernah beresan keada orang-orang yang tidak kuat hafalannya agar menulis hadits. Beliau juga menyimpan fatwa-fatwa Ali yang terhimpun dalam satu sahifah .
20. Rafi’ bin Khadij al-Ansari, RA ( 12 H – 74 H)
Beliau menyimpan hadits-hadits Nabi yang tertulis di atas kulit .
21. Zaid bin Arqom (w. 66 H)
Beliau menulis hadits dan mengirimkannya kepada Anas bin Malik. Dalam
22. Zaid bin Tsabit Al- Anshori, RA (w 45 H )
Beliau ahli qira’at dan menjadi sekertaris Nabi. Zaid terbukti menulis Hadits-hadits Nabi, sebagaimana beliau menulis juga menulis pendapat-pendapatnya sendiri misalnya dalam masalah kakek ( dalam hukum waris ), Zaid menulis hal itu kepada Umar bin Khatthab atas permintaan Umar. Tulisan Zaid itu termasuk buku yang pertama kali ditulis dalam masalah faraid .
23. Subai’ah al-Aslamiyah
Beliau adalah istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadit untuk para Tabi’in.
24. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Sayyid al-Khazraj, RA. (w. 15 H)
Sejak masa Jahiliyah beliau sudah aktif menulis. Beliau juga memiliki kitab-kitab yang kemudian diriwayatkan oleh beberaa anggota keluarganya. Bahwa didalam kitab-kitab Sa’ad bin Ubadah terdapat keterangan bahwa Raslullah SAW mengadili perkara dengan sumpah ditambah saksi .
25. Salman al-Farisi, RA (w. 32 H)
Beliau menuliskan hadits-hadits Nabi untuk Abu Darda .
26. al-Sa’ib bin Yazid, RA (2 – 92 H)
salah seorang murid beliau, yaitu Yahya bin Sa’id menulis sejumlah hadits yang berasal dari beliau, dan dikirimkannya kepada Ibn Lahi’ah. Ibn Lahi’ah sendiri menuturkan bahwa Yahya bin Sa’id mendengar sendiri hadiots-hadits itu dari al-Sa’ib bin Yazid .
27. Samurah bin Jundub, RA (w. 59 H)
Beliau menghiompun hadits-hadits Nabi dalam bentk buku. Beliau juga menulis hadits kepada putranya damana dicantumkan banyak hadits-hadits Nabi.
28. Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi al-Anshari, RA (9 SH – 91 H)
Hadits-hadits beliau diriwayatkan oleh putranya Abbas, al-Zuhri, dan Abu Hazim bin Dinar. Abu Hazim mengumpulkan hadits-hadits Sahl bin Sa’ad al-Sai’i, kemudian putranya Abu Hazim meriwayatkan hadits-hadits itu
29. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari, RA. (17 SH-58 H)
Beliau adalah ahli fiqih, Saddad bin Aus mengimlakan haditsnya kepada sejumlah pemuda. Beliau berkata ”Saya akan memberitahu tentang hadits yang diajarkan Nabi SAW kepada kita untuk waktu beergian dan di rumah. Lalu beliau mengimlakannya.
30. Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang melipat sahifah yang lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah al-â’ma, hamba sahaya bani Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik perahu, beliau membawa sahifah-sahifah hadits.
31. al-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah SAW mengirimkan
32. al-Dhahhak bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat terbunuh tahun 64 H atau 65 H)
Beliau menulis
33. Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an sunnah dan perkara agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah hadits. Beliau pandai membaca dan sering menerima
34. ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang wafat aling akhir di Kufa.
35. ’Abdullah bin al-Zubair, RA. (2 – 73 H)
Beliau menulis
36. ’Abdullah bin ’Abbas, RA. (3 SH – 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut tintanya ummat islam. beliau menulis hadits-hadits Nabi dan terkadang menyuruh hamba-hambanya untuk menulis hadits.
37. ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH – 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang dilakukan Rasulullah baik hal yang kecil maupun yang besar. Dalam surat-suratnya beliau menulis hadits-hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku hadits serta mempunyai naskah kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternya itu adalah naskah kitab sadaqah Nabi SAW.
38. ‘Abdullah bin ’Amr bin al-Ash, RA. (27 SH – 63 H)
Beliau banyak menuliskan hadit-hadits Nabi, mengimlakan haditsnya kepada muridnya. Dan menulis sebuah sahifah tentang maghazi (kisah peperangan Nabi SAW.
39. ‘Abdullah bin Mas’ud al Hadzali, (w.32 H)
Beliau ahli fiqih yang ulung, diutus ke Kufah sebagai guru dan wazir. Beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menulis hadits adalah Juwaibir dari al-Dhahhak dari Abdullah bin mas’ud, katanya “Ketika Nabi masih hidup, saya tidak menulis hadits kecuali hadits tentang tasyahhud dan istikharah. Dan juga diriwayatkan bahwa Abd Rahman bin Abdullah bin Mas’ud pernah memerlihatkan sahifah dan ia bersumpah bahwa sahifah itu tulisan tangan ayahnya.
40. ‘Utban bin Malik al-Anshari, RA. (wafat pada masa Mu’awiyah RA)
Beliau dipersaudarakan dengan Umar bin Khattab. Anas bin Malik pernah menyuruh putranya agar menulis hadits yang diriwayatkan Utban bin Malik.
41. ’Ali bin Abi thalib, RA. (23 SH – 40 H)
Beliau adalah hakimnya ummat Islam, termasuk salah seorang sekertaris Nabi. Beliau memiliki sahifah yang disebutkan dalam banyak sumber. Serta sangat menganjurkan murid-muridnya untuk menulis hadits Nabi.
42. Umar bin Khattab, RA. (40 SH – 23 H)
Beliau adalah wazir Nabi SAW. Menulis hadits-hadits Nabi dalam surat-surat resmi. Abu Ubaidah bin Jarrah juga menulis
43. Amr bin Hamz al-Anshari, RA (wafat sesudah 50 H)
Beliau ditugaskan oleh Nabi untuk menjadi kepala daerah Najran. Nabi SAW juga mengirimkan
44. Fatimah al-Zahra binti Rasulllah SAW (w. 11 H)
Beliau menyiman sahifah yang berisi wasiat beliau sendiri. Dalam wasiat itu terdaat juga hadits-hadits Nabi SAW.
45. Fatimah binti Qais, RA
Beberapa hadits beliau ditulis oleh Abu Salamah.
46. Muhammad bin Maslamah al-Anshari, RA 31 SH – 46 H)
Setelah beliau wafat, di dalam sarung pedangnya ditemukan sebuah sahifah yang berisi hadits-hadits Rasulullah SAW.
47. Mu’adz bin Jabal, RA (20 SH – 18 H)
Beliau diutus oleh Rasulullah ke Yaman dan dikirimi
48. Mu’awiyah bin Abu Sufyan, RA (w. 66 H)
Beliau termasuk sekertaris Nabi. Dan dari Nabi pula beliau belajar membuat titik huruf. Beliau pernah menulis
49. al-Mughirah bin Su’bah (w. 55 H)
Warrad, sekertaris al-Mughira mengatakan bahwa ia menuliskan
50. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hilaliyah, RA (w. 51 H)
Beliau dinikahi oleh Rasulullah pada tahun 7 H. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh eks hamba-hambanya.
51. Nu’man bin Basyir al-Anshari, RA (2 – 65 H)
Beliau menjadi walikota Hamsh di Syam.
52. Watsilah bin al-Asqa’, RA (22 SH – 83 H)
Beliau mengimlakan hadits kepada murid-muridnya. Seerti yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Khayyat, beliau melihat Watsilah mendektekan hadits Nabi dihadapan murid-muiridnya.
Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada
Akhirnya kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.
Daftar Pustaka
1. Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya’qub,
2. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits,
3. Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati
4. Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits,
5. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan,
6. M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
7. Bukhari, Shahih Bukhari
Periode Perkembangan Hadits
Periode Pertama
Periode dimana turunnya wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya. Terjadi dari masa 13 Sebelum Hijriah hingga 11 Hijriah. Rasulullah hidup dan bergaul serta berbicara dengan masyarakat umum dna para sahabat. Baik di masjid, di rumah, di pasar ataupun tatkala bertemu dengan para musafir.
Periode Kedua
Disebut juga dengan zaman at-Tasabbut wal-Iqlal minar-Riwayah (periode Pembatasan Hadits dan Menyedikitkan Riwayah). Terjadi pada masa empat khalifah yakni Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib.
Periode Ketiga
Dikenal sebagai zaman Intisyar ar-Riwayah ila al-Amtsar (periode Penyebaran Riwayat ke Kota-Kota). Masa ini terjadi pada zaman sahabat dan tabiin. Adanya peristiwa penaklukan atas wilayah Syam (Syiria) dan Irak pada tahun 17H, Mesir tahun 20H, Persia tahun 21 H, Samarkand tahun 56 H, dan Spanyol tahun 93 H oleh tentara Islam, mengharuskan para sahabat berpindah tempat dalam menyebarkan islam.
Periode Keempat
Disebut sebagai ‘Asr al-Kitabat wa at-Tadwin atau periode Penulisan dan Kodifikasi Hadits. Masa ini terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yakni sekitar tahun 99 hingga 102 H sampai akhir abad ke-2 H.
Periode Kelima
Dikenal dengan ‘Asr at-Tajird wa at-Tashshih wa at-Tanqih atau periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan. Masa ini berlangsung sepanjang abad ke-3 H. Di masa ini, dilakukan pemecahan terhadap permasalahan hadits-hadits yang muncul dan belum diselesaikan pada periode sebelumnya. Pemisahan antara hadits nabi Muhammad SAW dengan fatwa para sahabat terjadi pada masa ini. Selain itu, muncul pula berbagai kitab hadits yang ditulis oleh para tokoh hadits.
Periode Keenam
Disebut dengan ‘Asr at-Tahzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam’ atau periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadits. Dimulai dari abad ke-4 H hingga jatuhnya
Periode Ketujuh
Disebut dengan ‘Ahd asy-Syarh wa al-Jam’ wa at-Takhrij atau periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pen-takhrij-an atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan. Masa ini dimulai dari saat jatuhnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar